Rabu, 22 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Trauma Tumpul Abdomen

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA TUMPUL ABDOMEN


A. PENGERTIAN
Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13 Juli 200)

B. ETIOLOGI / FAKTOR PENYEBAB
Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk lonjong dan meluas dari atas diafragma sampai pelvis dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian – abdomen yang sebenarnya, yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah dab kecil.
Batasan – batasan abdomen. Di atas, diafragma, Di bawah, pintu masuk panggul dari panggul besar. Di depan dan kedua sisi, otot – otot abdominal, tulang –tulang illiaka dan iga – iga sebelah bawah. Di belakang, tulang punggung, dan otot psoas dan quadratrus lumborum.
Isi Abdomen. Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus, dan usus besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma, dan menutupi lambung dan bagian pertama usus halus. Kandung empedu terletak dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang lambung, dan limpa terletak dibagian ujung pancreas. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding posterior abdomen. Ureter berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak didalam abdomen.
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga dijumpai dalam rongga ini.




D. PATHOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
 Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
 Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
 Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

E. DAMPAK MASALAH TERHADAP KLIEN
Setiap musibah yang dihadapi seseorang akan selalu menimbulkan dampak masalah baik bio - psiko- social-spiritual yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perubahan pola kehidupan. Dampak dari pre operasi :
a. Dampak pada fisik :
 Pola Pernapasan :
Keadaan ventilasi pernapasan terganggu jika terdapat gangguan / instabilitasi cardiovaskuler, respirasi dan kelainan – kelainan neurologis akibat multiple trauma.
Penyebab yang lain adalah perdarahan didalam rongga abdominal yang menyebabkan distended sehingga menekan diafragma yang akan mempengaruhi ekspansi rongga thoraks.
 Pada sirkulasi
Perdarahan dalam rongga abdomen karena cidera dari oragan – organ abdominal yang padat maupun berongga atau terputusnya pembuluh darah, sehingga tubuh kehilangan darah dalam waktu singkat yang mengakibatkan shock hipovolemik dimana sisa darah tidak cukup mengisi rongga pembuluh darah.
 Perubahan perfusi jaringan
Penurunan perfusi jaringan disebabkan karena suplai darah yang dipompakan jantung ke seluruh tubuh berkurang / tidak mencukupi kesesuaian kebutuhan akibat dari shock hipovolemic.
 Penurunan Volume cairan tubuh.
Perdarahan akut akan mempengaruhi keseimbangan cairan di dalam tubuh, dimana cairan intra celluler (ICF), Extracelluler (ECF) diantaranya adalah cairan yang berada di dalam pembuluh darah (IV) dan cairan yang berada di dalam jaringan di antara sel - sel (ISF) akan mengalami defisit atau hipovolemia.
 Kerusakan Integritas kulit.
Trauma benda tumpul dan tajam akan menimbulkan kerusakan dan terputusnya jaringan kulit atau yang dibagian dalamnya diantaranya pembuluh darah, persyarafan dan otot didaerah trauma.
b. Dampak Psikologis :
Perasaan cemas dan takut akan menyelimuti diri pasien, hal ini disebabkan karena musibah yang dialaminya dan kurangnya informasi tentang tindakan pengobatan dengan jalan pembedahan / operasi.
c. Dampak Sosial :
Mengingat dana yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan tidak sedikit dan harga obat – obatan yang cukup tinggi, hal ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi dan membutuhkan waktu yang amat segera (sempit)

F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip – prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja.
1.1 Anamnesa
1.1.1 Biodata
1.1.2 Keluhan Utama
 Keluhan yang dirasakan sakit.
 Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
1.1.3 Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
 Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.
 Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat jatuh.
 Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
 Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
1.1.4 Riwayat Penyakit yang lalu
 Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.
 Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan faal hemostasis.
1.1.5 Riwayat psikososial spiritual
 Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
 Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
 Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).
1.2 Pemeriksaan Fisik
1.2.1 Sistim Pernapasan
 Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan napasnya.
 Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal.
 Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
 Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
1.2.2 Sistim cardivaskuler (B2 = blead)
 Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal dan adakah anemis.
 Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks.
1.2.3 Sistim Neurologis (B3 = Brain)
 Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
 Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak
 Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
1.2.4 Sistim Gatrointestinal (B4 = bowel)
 Pada inspeksi :
• Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
• Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum abdomen.
• Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
• Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen iritasi.
 Pada palpasi :
• Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
• Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
• Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
 Pada perkusi :
 Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
 Kemungkinan – kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam cavum abdomen.
 Pada Auskultasi :
 Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau menghilang.
 Pada rectal toucher :
 Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
 Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
1.2.5 Sistim Urologi ( B5 = bladder)
 Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
 Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
 Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
1.2.6 Sistim Tulang dan Otot ( B6 = Bone )
• Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis.
• Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.
1.3 Pemeriksaan Penunjang :
1.3.1 Radiologi :
 Foto BOF (Buick Oversic Foto)
 Bila perlu thoraks foto.
 USG (Ultrasonografi)
1.3.2 Laboratorium :
 Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
 Urine lengkap (terutama ery dalam urine)
1.3.3 Elektro Kardiogram
 Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah perawatan yang actual maupun potensial pada penderita pre operatis trauma tumpul abdomen adalah sebagai berikut :
2.1 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
2.2 Perubahan perfusi jaringan sehubngan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam.
2.3 Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan.
2.4 Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah.
2.5 Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi / informasi inadquat yang itandai dengan pasien bertanya tentang dampak dari musibah yang dialami dan akibat dari pembedahan.
3. Perencanaan
3.1 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
Tujuan :
 Keseimbangan cairan tubuh teratasi.
 Sirkulasi dinamik (perdarahan) dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
 Cairan yang keluar seimbang , tidak didapat gejala – gejala dehidrasi.
 Perdarahan yang keluar dapat berhenti, tidak didapat anemis, Hb diatas 80 gr %
 Tanda vital dalam batas normal.
 Perkusi : Tidak didapatkan distensi abdomen.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tentang cairan perdarahan yang keluar adakah gambaran klinik hipovolemic
2) Jelaskan tentang sebab – akibat dari kekurangan cairan / perdarahan serta tindakan yang akan kita lakukan.
3) Observasi gejala – gejala vital, suhu, nadi, tensi, respirasi dan kesadaran pasien setiap 15 menit atau 30 menit.
4) Batasi pergerakan yang tidak berguna dan menambah perdarahan yang keluar.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pelaksanaan :
 Pemberian cairan infus (RL) sesuai dengan kondisi.
 Menghentikan perdarahan bila didapat trauma tajam dengan jalan didrug (ditekan) atau diklem / ligasi.
 Pemasangan magslang dan katheter + uro – bag.
 Pemberian transfusi bila Hb kurang dari 8 gr %.
 Pemasangan lingkar abdomen.
 Pemeriksaan EKG.
6) Kolaborasi dengan tim radiology dalam pemeriksaan (BOF) dan foto thoraks.
7) Kolaborasi dengan tim analis dalam pemeriksaan (DL : darah lengkap) (Hb serial) dan urine lengkap.
8) Monitoring setiap tindakan perawatan / medis yang dilakukan serta catat dilembar observasi.
9) Monitoring cairan yang masuk dan keluar serta perdarahan yang keluar dan catat dilembar observasi.
10) Motivasi kepada klien dan keluarga tentang tindakan perawatan / medis selanjutnya.
3.2 Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam.
Tujuan :
 Tidak terjadi / mempertahankan perfusi jaringan dalam kondisi normal.
Kriteria hasil :
 Status haemodinamik dalam kondisi normal dan stabil.
 Suhu dan warna kulit bagian akral hangat dan kemerahan.
 Capillary reffil kurang dari 3 detik.
 Produksi urine lebih dari 30 ml/jam.
Rencana Tindakan
1) Kaji dan monitoring kondisi pasien termasuk Airway, Breathing dan Circulation serta kontrol adanya perdarahan.
2) Lakukan pemeriksaan Glasgow Coma scale (GCS) dan pupil.
3) Observasi tanda – tanda vital setiap 15 menit.
4) Lakukan pemeriksaan Capillary reffil, warna kulit dan kehangatan bagian akral.
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan infus.
6) Monitoring input dan out put terutama produksi urine.
3.3 Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan.
Tujuan :
 Rasa nyeri yang dialami klien berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
 Klien mengatakan nyerinya berkurang atau hilang.
 Klien nampak tidak menyeringai kesakitan.
 Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tentang kualitas, intensitas dan penyebaran nyeri.
2) Beri penjelasan tentang sebab dan akibat nyeri, serta jelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan.
3) Berikan posisi pasien yang nyaman dan hindari pergerakan yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri.
4) Berikan tekhnik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan jalan tarik napas panjang dan dikeluarkan secara perlahan – lahan.
5) Observasi tanda – tanda vital, suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.


6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik bilamana dibutuhkan, (lihat penyebab utama)
3.4 Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah.
Tujuan :
 Kecemasan dapat diatasi.
Kriteria hasil :
 Klien mengatakan tidak cemas.
 Ekspresi wajah klien tampak tenang dan tidak gelisah.
 Klien dapat menggunakan koping mekanisme yang efektif secara fisik – psiko untuk mengurangi kecemasan.
Rencana Tindakan :
1) Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta rasa kekhawatirannya.
2) Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan.
3) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
4) Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu mengungkapkan perasaannya.
5) Observasi tanda – tanda kecemasan baik verbal dan non verbal.
6) Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan prosedur.
7) Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic.
8) Berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang pengobatan pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta keluarga.
3.5 Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang sebab dan akibat dari trauma serta dampak dari pembedahan yang ditandai dengan pasien / keluarga sering bertanya dari petugas yang satu ke petugas yang lain, klien / keluarga nampak belum kooperatif.
Tujuan :
 Klien / keluarga mengerti dan memahami tentang tindakan pembedahan yang akan dilakukan.
Kriteria hasil :
 Klien / keluarga memahami prosedur dan tindakan yang akan dilakukan.
 Klien kooperatif setiap tindakan yang terkait dengan persiapan pembedahan.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien / keluarga.
2) Jelaskan secara sederhana tentang pengobatan yang dilakukan dengan jalan pembedahan.
3) Diskusikan tentang hal – hal yang berhubungan dengan prosedur pembedahan dan proses penyembuhan.
4) Berikan perhatian dan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
5) Anjurkan klien untuk berpartisipasi selama dalam perawatan.
6) Lakukan check list untuk persiapan pre operasi antara lain informed consent, alat/obat dan persiapan darah untuk transfusi.
4. Pelaksanaan Perawatan
Dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana perawatan dengan modifikasi sesuai dengan kondisi pasien dan kondisi ruangan dan asuhan perawatan yang telah dilakukan di tulis pada lembar catata perawatan sesuai dengan tanggal, jam, serta tanda tangan, nama yang melakukan.
5. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan setiap saat setelah rencana perawatan dilakukan serta ssat pasien pindah dari IRD, sedangkan cara melakukan evaluasi sesuai dengan criteria keberhasilan pada tujuan rencana perawatan. Dengan demikian evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan criteria / sasaran secara rinci di tulis pada lembar catatan perkembangan yang berisikan S-O-A-P-I-E-R (data Subyek, Obyek, Assesment, Implemetasi, Evaluasi dan Revisi.). Dari catatan perkembangan ini seorang perawat dapat mengetahui beberapa hal antara lain :
1. Apakah datanya sudah relevan dengan kondisi saat ini.
2. Apakah ada data tambahan selama melaksanakan intervensi (perencanaan perawatan).
3. Adakah tujuan perencanaan yang belum tercapai.
4. Tujuan perencanaan perawatan manakah yang belum tercapai.
5. Apakah perlu adanya perubahan dalam perencanaan perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Callege Of Surgeons. 1997. Advced Trauma Life Suport (ATLS) for Doctors, Edition 6, Amerika Serikat.

2. Departemen Kesehatan RI. 1990. Pusat Diklat Tenaga Kesehatan, Penerapan Proses Keperawatan Pada Klien Gangguan Sistem Pernafasan. Depkes RI.

3. Horison’ s. Gangguan Saluran Pencernaan, Edisi 9 Terjemahan Adji Dharma, EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

4. Dolan T. Joant. 1991. Critical Care Nursing Clinical Management Through The Nursing Proces, New York. Amerika Serikat, FA Davis Company. Philadephia.

5. Doenges E. Marilyn. Et All. 1987. Nursing Care Plans, Edition 2, Company Philadephia.

6. Wolf. Weitzel. Fuest. 1984. Dasar – Dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta. PT Gunung Agung.

Asuhan Keperawatan Trauma Thorax, Pneumothorax, Hematotorax

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
TRAUMA THORAX (PENUMOTHORAX/HEMATOTORAX)
DENGAN PEMASANGAN BULLOW DRAINAGE


I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.

B. Anatomi
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.
Isi :
Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

Gambar Rongga Thoraks :


Jantung Sternum
& perikardium Saraf frenikus
Vena Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung Saraf vagus

Aorta Vertebra
Sal. Torasika
Patofisiologi
Trauma Thorax

Mengenai rongga toraks sampai Terjadi robekan Pemb. Darah intercostal,
rongga pleura, udara bisa pemb.darah jaringan paru-paru.
masuk (pneumothorax)

Terjadi perdarahan :
Karena tekanan negative intrapleura (perdarahan jaringan intersititium, perarahan intraalveolar
Maka udara luar akan terhisap masuk diikuti kolaps kapiler kecil-kecil dan atelektasi)
ke rongga pleura (sucking wound)
tahanan perifer pembuluh paru naik
(aliran darah turun)
- Open penumothorax
- Close pneumotoraks = ringan kurang 300 cc  di punksi
- Tension pneumotoraks = sedang 300 - 800 cc  di pasang drain
= berat lebih 800 cc  torakotomi
Tek. Pleura meningkat terus
Tek. Pleura meningkat terus
mendesak paru-paru
(kompresi dan dekompresi)

pertukaran gas berkurang
- sesak napas yang progresif = sesak napas yang progresif
(sukar bernapas/bernapas berat) = nyeri bernapas / pernafsan asimetris/adanya jejas atau trauma
- nyeri bernapas = pekak dengan batas jelas/tak jelas.
- bising napas berkurang/hilang = bising napas tak terdengar
- bunyi napas sonor/hipersonor = nadi cepat/lemah
- poto toraks gambaran udara lebih ¼ anemis / pucat
dari rongga torak = poto toraks 15 - 35 % tertutup bayangan

WSD/Bullow Drainage


- terdapat luka pada WSD - Kerusakan integritas kulit
- nyeri pada luka bila untuk - Resiko terhadap infeksi
bergerak. - Perubahan kenyamanan : Nyeri
perawatan WSD harus di - Ketidak efektifan pola pernapasan
perhatikan. - Gangguan mobilitas fisik
- Inefektif bersihan jalan napas - Potensial Kolaboratif : Atelektasis dan
Pergeseran mediatinum
C. Pemeriksaan Penunjang :
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

D. Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.

2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
Latihan napas dalam.
Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.

3. Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
Bila pneumotoraks
Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi
Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.

4. Terapi :
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.

E. Komplikasi
1. tension penumototrax
2. penumotoraks bilateral
3. emfiema
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian :
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.
B. Pemeriksaan Fisik :
1. Sistem Pernapasan :
Sesak napas
Nyeri, batuk-batuk.
Terdapat retraksi klavikula/dada.
Pengambangan paru tidak simetris.
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
Takhikardia, lemah
Pucat, Hb turun /normal.
Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :
Tidak ada kelainan.

4. Sistem Perkemihan.
Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :
Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
Kemampuan sendi terbatas.
Ada luka bekas tusukan benda tajam.
Terdapat kelemahan.
Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme.
Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi.
Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :
Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :
Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
Pa Co2 kadang-kadang menurun.
Pa O2 normal / menurun.
Saturasi O2 menurun (biasanya).
Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,



Diagnosa Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

F. Intevensi Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
f. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemberian analgetika.
Fisioterapi dada.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

Tujuan : Jalan napas lancar/normal

Kriteria hasil :
Menunjukkan batuk yang efektif.
Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
Klien nyaman.

Intervensi :
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
c. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
d. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
e. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Fisioterapi dada.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
Pasien tidak gelisah.

Intervensi :
a. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
c. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
e. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA



Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah. Jakarta : Pusdiknakes.

Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC.

Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Asuhan Keperawatan Tuberculosis Paru (TBC)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU (TBC)


A. PENGERTIAN
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, 1999, hal. 472).
Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), orang ke orang dan mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus (Corwin, 2001, hal. 414).
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan, 2002, hal. 9).

B. ETIOLOGI
Tuberculosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal 0,3 – 0,6 um. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga disebut bakteri tahan asam. Sifat lain kuman ini adalah aerob yaitu kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan O2 nya. Dalam hal ini tekanan O2 pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis. (Soeparman, 1999, hal. 715).
Mereka yang paling beresiko tertular basil adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif khususnya individu yang sistem imunnya tidak adekuat (Corwin, 2001, hal. 414).

C. MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama TB paru menurut Mansjoer (1999 hal 472) adalah:
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40 – 41oC,
b. Batuk
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah muncul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Maleise
Gejala maleise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam.
Pasien TB paru menampakkan gejala klinis yaitu:
a. Tahap asimtomatis
b. Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnansi dan regresi
c. Eksaserbasi yang memburuk.
d. Gejala berulang dan menjadi kronik.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:
a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronchi basah, dan lain-lain).
b. Tanda-tanda penarikan paru diafragma, dan mediastrium.
c. Sekret di saluran nafas dan ronchi.
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Mansjoer (1999 hal. 472 ) pemeriksaan penunjang pada Tuberculosis paru antara lain:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, Limfositosis)
c. Foto toraks Postereor Anterior (PA) dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberculosis, yaitu:
1) Bayang lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah.
2) Bayangan berawan (patchy) berbercak (nodular).
3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
4) Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
5) Adanya kalsifikasi.
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
7) Bayangan milier.
d. Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30 – 70% pasien TB yang dapat di diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
e. Tes PAP (Peroksislase anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya lg 6 spesifik terhadap basil TB.
f. Tes Mantoux/Tuberkulin
g. Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada satu mikroorganisme dalam spesimen.
h. Becton Dikinson Diagnotic Instrumen System (BACTEC)
Deteksi Growth Index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh Mycobacterium Tuberculosis.
i. Enzim Inked Immunosorbent Assay
j. Mycodot
Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah.

E. PATOFISIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), orang ke orang dan mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus. Apabila bakteri tuberculin dalam jumlah yang bermakna berhasil menembus mekanisme pertahanan sistem pernapasan dan berhasil menempati saluran napas bawah, maka pejamu akan melakukan respons imun dan peradangan yang kuat. Karena respons yang hebat ini, akibat diperantarai oleh sel T, maka hanya sekitar 5 % orang yang terpajan basil tersebut menderita tuberculosis aktif. Penderita TBC yang bersifat menular bagi orang lain adalah mereka yang mengidap infeksi tuberculosis aktif dan hanya pada masa infeksi aktif.
Basil mycobacterium tuberculosis sangat sulit dimatikan apabila telah mengkolonisasi saluran nafas bawah, maka tujuan respons imun adalah lebih untuk mengepung dan mengisolasi basil bukan untuk mematikannya. Respons selular melibatkan sel T serta makrofag. Makrofag mengelilingi basil diikuti oleh sel T dan jaringan fibrosa membungkus kompleks makrofag basil tersebut. Tuberkel akhirnya mengalami kalsifikasi dan disebut kompleks Ghon, yang dapat dilihat pada pemeriksaan sinar-x toraks. Sebelum ingesti bakteri selesai, bahan mengalami perlunakan (perkijuan). Mikro-organisme hidup dapat memperoleh akses ke sistem trakeobronkus dan menyebar melalui udara ke orang lain. Bahkan walaupun telah dibungkus secara efektif, basil dapat bertahan hidup dalam tuberkel.
Apabila partikel infeksi terisap oleh orang sehat, akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kuman menetap di jaringan paru akan bertumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini kuman dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di salurang hidung dan cabang besar bronkus. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Kerusakan pada paru akibat infeksi adalah disebabkan oleh basil serta reaksi imun dan peradangan yang hebat. Edema interstisium dan pembentukan jaringan parut permanen di alveolus meningkatkan jarak untuk difusi oksigen dan karbondioksida sehingga pertukaran gas menurun.(Corwin, 2001: 414)





F. PATHWAY
Droplet nucler/dahak yang mengandung
basil TBC (Mycobacterium Tuberculosis)







G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin muncul akibat TBC antara lain (Depkes, 2000, hal 11) :
1. Hemoptisis
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
3. Bronkiektasis
4. Pneumotorak
5. Penyebaran infeksi ke organ lain
6. Insufisiensi cardio pulmoner

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (1999 hal 473) penatalaksanaan pada tuberculosis paru antara lain:
1. Obat anti TB (OAT)
OAT harus di berikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisi dengan atau tanpa obat ketiga.
Tujuan pemberian OAT, antara lain:
a. Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui kegiatan bekterisid.
b. Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi.
c. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis.
2. Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bekterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat.
b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional.
OAT yang biasa digunakan antara lain Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Steptomosin (S) yang bersifat bekterisid dan etambutol yang bersifat bakteriostatik.
3. Panduan OAT pada TB paru (WHO 1993)
Panduan OAT Klasifikasi dan
Tipe Penderita Fase Awal Fase Lanjutan
Kategori 1

Kategori 2


Kategori 3 I. BTA (+) baru
J. Sakit berat: BTA (-) luar paru
Pengobatan Ulang:
K. Kambuh BTA (+)
L. Gagal
M. TB paru BTA (-)
N. TB luar paru 2 HRZS (E)
2 RHZS (E)

2 RHZES/1 RHZE
2 RHZES/1 RHZE
2 RHZ
2 RHZ/2 R3H3Z3 4 RH
4 R3H3

5 RHE
5 R3H3E3
4 RH
4 R3H3

Keterangan:
4 HRZ : Tiap hari selama 2 bulan
4 RH: Tiap hari selama 4 bulan
4 H3R3: 3 kali seminggu selama 4 bulan

I. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut Doengoes (2000 hal 240) data dasar pengkajian pasien antara lain:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala:
1) Kelelahan umum dan kelemahan
2) Nafas pendek karena kerja
3) Kesulitan tidur pada malam hari
Tanda:
1) Takikardi, takipnea/dispnea pada kerja.
2) Kelelahan otot, nyeri dan sesak.
b. Integritas Ego
Gejala:
1) Adanya/faktor stress lama.
2) Perasaan tak berdaya/tidak ada harapan.
Tanda:
1) Menyangkal
2) Ansietas, ketakutan, mudah terangsang.
c. Makanan/cairan
Gejala:
1) Kehilangan nafsu makan.
2) Penurunan berat badan.
Tanda:
Tugor kulit buruk, kering/kulit bersisik.
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala:
Nyeri dada meningkat karena batuk berulang
Tanda:
Berhati - hati pada area yang sakit.
e. Pernafasan
Gejala
1) Batuk, produktif atau tak produktif.
2) nafas pendek
Tanda:
1) Peningkatan frekuensi pernafasan.
2) Karakteristik sputum: hijau/purulen, mukoid kuning atau bercak merah.
f. Keamanan
Gejala:
Adanya penekanan imun.
Tanda:
Demam rendah atau sakit panas akut.

g. Interaksi sosial
Gejala:
1) Perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular.
2) Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
h. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
1) Riwayat keluarga TB.
2) Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk.
3) Rencana pemulangan Memerlukan bantuan dengan/gangguan dalam terapi obat dan pemeliharaan/perawatan rumah.
2. Fokus Intervensi
Menurut Doengoes (2000) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus tuberculosis paru adalah sebagai berikut
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat penurunan kerja silia.
a. Kriteria hasil: Menurunkan resiko penyebaran infeksi.
b. Intervensi:
2) Kaji potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah.
Rasional : Sebagai pemahaman kepada pasien/orang terdekat untuk mencegah infeksi ke orang lain.

3) Identifikasi orang yang beresiko.
Rasional : Orang – orang yang terpajan perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
4) Anjurkan pasien untuk batuk/bersin mengeluarkan ludah dengan tissue.
Rasional : Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.
5) Awasi suhu sesuai indikasi.
Rasional: Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
6) Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Rasional : Periode singkat berakhir 2 – 3 hari setelah kemoterapi awal, resiko penyebaran infeksi berlanjut sampai 3 bulan.
7) Dorong memilih makanan seimbang.
Rasional : Adanya anoreksia dan malnutrisi sebelumnya merendahkan tahanan terhadap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal.
a. Kriteria hasil
Mempertahankan jalan nafas pasien, mengeluarkan sekret tanpa bantuan, menunjukkan perilaku untuk mempertahankan bersihan jalan nafas, berpartisipasi dalam program pengobatan.
b. Intervensi
1) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronchial dan dapat memerlukan intervensi lanjut.
2) Berikan posisi semi fowler/fowler tinggi, bantu pasien untuk batuk dan latihan nafas dalam.
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
3) Bersihkan sekret dari mulut dan trachea.
Rasional : Mencegah obstruksi/aspirasi
4) Pertahankan makanan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu mengencerkan sekret, membuatnya mudah dikeluarkan.
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru, obstruksi jalan nafas.
a. Kriteria hasil
Melaporkan tidak adanya/penurunan dispnea, menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan Gas Analisa Darah (GDA) dalam rentang normal, bebas dari gejala distress pernapasan.

b. Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
Rasional : TB paru menyebabkan efek luar pada paru dari bagian kecil bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas.
2) Tunjukkan/dorong bernafas bibir selam ekshalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional : Membuat tahapan melawan udara luar, untuk mencegah penyempitan jalan nafas sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan/menurunkan nafas pendek.
3) Tingkatkan tirah baring/batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan konsumsi O2/kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan, sering batuk/produksi sputum, dispnea, anoreksia, ketidakcukupan sumber keuangan.



a. Kriteria hasil
Menunjukkan BB meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas tanda malnutrisi, melakukan perubahan pola hidup untuk mempertahankan berat yang tepat.
b. Intervensi
1) Catat status nutrisi: turgor, kulit, BB, integritas mukosaoral, adanya tonus usus, mual/muntah atau diare.
2) Pastikan pola diet biasa pasien yang disukai/tidak disukai.
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/kekuatan khusus.
3) Awasi input/out put dan BB secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
4) Selidiki anoreksia, mual, muntah, frekuensi, volume dan konsistensi feses.
Rasional : Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan untuk meningkatkan pemasukan/penggunaan nutrien.
5) Dorong/berikan periode istirahat sering.
Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
6) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan.
Rasional : Menurunkan rasa tak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
7) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu/kebutuhan energi dari makan makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi, keterbatasan kognitif, tak akurat/tak lengkap informasi yang ada.
a. Kriteria hasil
1) Menyatakan pemahaman proses penyakit dan kebutuhan pengobatan.
2) Melakukan perubahan pola hidup untuk memperbaiki kesehatan umum dan menurunkan resiko pengaktifan ulang TB.
3) Mengidentifikasi gejala yang memerlukan evaluasi/intervensi.
4) Menggambarkan rencana untuk menerima perawatan kesehatan adekuat
b. Intervensi
1) Kaji kemampuan pasien untuk belajar.
Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan tingkatkan pada tahapan individu.
2) Identifikasi gejala: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
Rasional : Menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
3) Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolisme membantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan, cairan dapat mengencerkan/mengeluarkan sekret.
4) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan lama.
Rasional : Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
5) Kaji potensi efek samping pengobatan
Rasional : Mencegah/menurunkan ketidaknyamanan sehubungan terapi dan meningkatkan kerjasama dalam program.

Asuhan Keperawatan Tumor Paru

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TUMOR PARU


I. KONSEP DASAR
Pada umumnya tumor paru terbagi atas tumor jinak (5 %) antara lain adenoma, hamartoma dan tumor ganas (90%) adalah karsinoma bronkogenik.
Karena pertimbangan klinis maka yang dibahas adalah kanker paru atau karsinoma bronkogenik.
I. Pengertian
Menurut Hood Alsagaff, dkk. 1993, karsinoma bronkogenik adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas. Sedangkan menurut Susan Wilson dan June Thompson, 1990, kanker paru adalah suatu pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel anaplastik dalam paru.
II. Etiologi
Seperti kanker pada umumnya, etiologi yang pasti dari kanker paru masih belum diketahui, namun diperkirakan bahwa inhalasi jangka panjang dari bahan – bahan karsiogenik merupakan faktor utama, tanpa mengesampingkan kemungkinan perana predisposisi hubungan keluarga ataupun suku bangsa atau ras serta status imunologis.
1. Pengaruh rokok.
2. Pengaruh paparan industri
3. Pengaruh adanya penyakit lain atau predisposisi oleh karena adanya penyakit lain.
4. Pengaruh genetik dan status imunologis.

III. Patofisiologi.
Kanker paru bervariasi sesuai tipe sel, daerah asal, dan kecepatan pertumbuhan. Empat tipe sel primer pada kanker paru adalah karsinoma epidermoid (sel skuamosa), karsinoma sel kecil (sel oat), karsinoma sel besar (tak terdeferensiasi) dan adenokarsinoma. Sel skuamosa dan karsinoma sel kecil umumnya terbentuk di jalan napas utama bronkial. Karsinoma sel besar dan adenokarsinoma umumnya tumbuh di cabang bronkus perifer dan alveoli. Karsinoma sel besar dan karsinoma sel oat tumbuh sangat cepat sehingga mempunyai prognosis buruk. Sedangkan pada sel skuamosa dan adenokarsinoma prognosis baik karena sel ini pertumbuhan lambat.
IV. Gejala klinis
Pada waktu masih dini gejala sangat tidak jelas utama seperti batuk lama dan infeksi saluran pernapasan. Oleh karena itu pada pasien dengan batuk lama 2 minggu sampai 1 bulan harus dibuatkan foto X dengan gejala lain dyspnea, hemoptoe, febris, berat badan menurun dan anemia. Pada keadaan yang sudah berlanjut akan ada gejala ekstrapulmoner seperti nyeri tulang, stagnasi (vena cava superior syndroma).
Rata – rata lama hidup pasien dengan kanker paru mulai dari diagnosis awal 2 – 5 tahun. Alasannya adalah pada saat kanker paru terdiagnosa, sudah metastase ke daerah limfatik dan lainnya. Pada pasien lansia dan pasien dengan kondisi penyakit lain, lama hidup mungkin lebih pendek.
V. Klasifikasi/Pentahapan Klinik (Clinical staging)
Klasifikasi berdasarkan TNM : tumor, nodul dan metastase.
1. T : T0 : tidak tampak tumor primer
T1 : diameter tumor
T2 : diameter > 3 cm, dapat disertai atelektasis atau pneumonitis, namun berjarak lebih dari 2 cm dari karina, serta belum ada efusi pleura.
T3 : tumor ukuran besar dengan tanda invasi ke sekitar atau sudah dekat karina dan atau disetai efusi pleura.
2. N : N0 : tidak didapatkan penjalaran ke kelenjar limfe regional
N1 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe hilus ipsilateral
N2 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe mediastinum atau kontralateral
N3 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe ekstratorakal
3. M : M0 : tidak terdapat metastase jauh
M1 : sudah terdapat metastase jauh ke organ – organ lain.
VI. Studi Diagnostik
1. Chest x – ray ( pandangan lateral dan poteroanterior), tomografi dada dan CT scanning.
2. Radioisotop scanning
3. Tes laboratorium
a. Pengumpulan sputum untu sitologi, bronkoskopi dengan biopsi, hapusan dan perkutaneus biopsi
b. Mediastinoskopi

VII. Manajemen medis
1. Manajemen umum : terapi radiasi
2. Pembedahan : Lobektomi, pneumonektomi, dan reseksi.
3. Terapi obat : kemoterapi

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN KANKER PARU


I. Pengkajian
a. Riwayat :
Perokok berat dan kronis, terpajan terhadpa lingkungan karsinogen, penyakit paru kronis sebelumnya yang telah mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan fibrosis pada jaringan paru.
b. Pemeriksaan fisik pada pernapasan
Batuk menetap akibat sekresi cairan, mengi, dyspnea, hemoptisis karena erosi kapiler di jalan napas, sputum meningkat dengan bau tak sedap akibat akumulasi sel yang nekrosis di daerah obstruksi akibat tumor, infeksi saluran pernapasan berulang, nyeri dada karena penekanan saraf pleural oleh tumor, efusi pleura bila tumor mengganggu dinding par, disfagia, edema daerah muka, leher dan lengan.
c. Nutrisi :
Kelemahan, berat badan menurun dan anoreksia
d. Psikososial :
Takut, cemas, tanda –tanda kehilangan.
e. Tanda vital
Penngkatan suhu tubuh, takipnea
f. Pemeriksaan diagnostik.

II. Diagnosa keperawatan
1. Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi bronkial sekunder karena invasi tumor.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan saraf oleh tumor paru.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan dan dyspnea
4. Aktivitas intolerans berhubungan dengan kelemahan secara umum.

III. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan P e r e n c a n a a n
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi bronkial sekunder karena invasi tumor.
Bersihan jalan napas akan paten dengan kriteria batuk hilang, suara napas bersih, x –ray bersih. 1. Auskultasi paru akan ronkii, rales atau mengi.

2. Monotr ABGs

3. Monitor hasil sputum sitologi
4. Beri posisi optimal kepala tempat tidru ditinggikan.


5. Atur humifier oksigen

6. bantu pasien dengan ambulasi atau ubah posisi
7. anjurkan intake 1,5 – 2 L/hari kecuali kontraindikasi
8. Bantu pasien yang batuk Lihat adekuatnya pertukaran gas dan luasnya obstruksi jalan napas karena skeret.
Melihat keseimbangan asam dan basa dan kebutuhan untuk terapi oksigen
Melihat adanya sel kanker
Sekret bergerak sesuai gravitasi sesuai perubaha posisi. Meninggikan kepala tempat tidur memungkinkan diafragma untuk brkontraksi
Mensuplay oksigen dan mengurangi kerja pernapasan
Sekret bergerak sesuai perubahan tubuh terhadap gravitasi
Mengencerkan sekret

Batuk mengeluarkan sekret yang menunmpuk
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan saraf oleh tumor paru.
Mendemonstrasikan bebas nyeri dengan kriteria ekspresi wajah rileks, pengembangan paru optimal, menyatakan nyeri hilang 1. Beri analgesik dan evaluasi keefektifannya


2. Untuk meminimalkan nyeri dada pleural : anjurkan untuk menahan dada dengan kedua tangan atau dengan bantal saat batuk, dorong pasien untuk berhenti merokok, dan berikan pelembab udara sesuai order dan obat antitusif

3. Untuk meminimalkan nyeri tulang : mmembalik hati - hati dan berikan dukungan, hindari menarik ekstremitas, berikan matras yang lembut, ubah posisi tiap 2 jam. Rasa nyaman merupakan prioritas dalam pemberian perawatan pasien demgam tumor. Kontrol rasa nyeri butuh narkotik dosis tinggi.
Napas dalam dan batuk kuat meregangkan membran pleura dan menimbulkan nyeri dada pleuritik. Nikotin dari tembakau bisa menyebabkan konstriksi bronkial dan menuruhkan gerakan silia yang melapisi saluran pernapasan. Anti batuk menekan pusat batuk di otak
Metastase ke tulang menyebabkan nyeri hebat. Pada banyak pasien bahkan sentuhan ringan dapat menimbjlkan rasa nyeri.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan dan dyspnea
Status nutrisi ditingkatkan dengan kriteria BB bertambah, makan sesuai diet seimbanmg, albumin, limfosit normal, lingkar lengan normal 1. Kaji diet harian dan kebutuhannya
2. Timbang BB tiap minggu
3. Kaji faktor psikologi


4. Moniitor albumin dan limfosit

5. Beri oksigen selama makan sesuai keperluan
6. Anjurkan oral care sebelum makan

7. Atur anti emetik sebelum makan

8. Berikan diet TKTP
9. Atur pemberian vitamin sesuai order Bantu menentukan diet individu
Sesuai penngkatan nutrisi.
Mengidentifikasi efek psikologis yang mempengaruhi menurunnya makan dan minum
Indikasi adekuatnya protein untuk sistem imun
Mengurangi dyspnea denan mengurangi kerja paru
Menghilangkan rasa sputum yang bisa mengurangi napsu makan pasien
Mengurangi mual yang bisa mempengaruhi napsu makan
Mendukung sistem imun
Sebagai diet suplemen atau tambahan

4. Aktivitas intolerans berhubungan dengan kelemahan secara umum.
Pasien mampu melakukan akvitas tanpa keleahan atau dyspnea dengan kriteria hasil mampu melakukan aktivitas hariannya. 1. Observasi respon terhadap aktivitas
2. Identifikasi faktor yang mempengaruhi intolerans seperti stres, efek samping obat
3. rencanakan periode istirahat di antara waktu bekerja
4. anjurkan untuk lakukan aktivitas sesuai kemampuan pasien
5. berikan program latihan aktivitas sesuai toleransi
6. Rencanakan bersama keluarga mengurangi energi yang berlebihan saat melakukan aktivitas harian
Melihat kemapuan beraktivitas
Intevensi dilaksanakan sesuai faktor yang mempengaruhi

Mengurangi kelelahan melalui isitirahat yang cukup
Menemukan pasien kebutuhannya ttanpa menyebabkan kelelahan
Meningkatkan independensi pasien sendiri
Identifikasi menyimpan energi .
DAFTAR PUSTAKA

Phipps, Wilma. et al, (1991), Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto
Doengoes, Marilynn, dkk, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Engram, Barbara, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa Suharyati S, volume 1, EGC, Jakarta
Tucker, Martin dkk, (1999), Standar Perawatan Pasient,alih bahasa Yasmin Aih dkk, volume 4, edisi V, EGC, Jakarta
Alsagaff, Hood, dkk. (1993), Pengantar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Paru, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dokter Soetomo, Surabaya
Wilson, Susan and Thompson, June (1990), Respiratory Disorders, Mosby Year Book, Toronto.

Photobucket